Sabtu, 06 Februari 2016

Kuantitas mesin pesawat dari masa ke masa

                          Hasil gambar untuk engine pesawat

Sebuah mesin berkekuatan 12 HP buatan Charles Taylor merupakan penggerak dari pesawat terbang pertama Flyer membuka dengan apa yang disebut kemudian sebagai era penerbangan.


Tidak membutuhkan waktu lama, kualitas dan kuantitas mesin meningkat dari masa ke masa dan merupakan sumber tenaga dari pesawat penumpang dan kargo. Pemakaian mesin piston sebanyak tiga dan empat buah pada pesawat terbang menjadi lumrah demi meningkatkan kapasitas angkut.
Saat ini telah berlalu era pesawat raksasa amfibi raksasa era 1930-an yang menggunakan banyak mesin sebanyak 6-8 buah bahkan sampai 12 unit mesin seperti yang terpasang pada Dornier Do-X.
Perkembangan desain mesin terutama lahirnya mesin turbin jet pasca perang dunia II mengubah segalanya, semakin besar, semakin handal, dan semakin ekonomis. Akhir 1950-an dan awal 1960-an lahirlah trio pesawat komersial jet bermesin empat asal Amerika Serikat yaitu Convair CV-990, Douglas DC-8, dan Boeing B707.
Sementara dari daratan Eropa diwakili Vickers VC-10 Inggris dan Ilyushin Il-62 asal Rusia. Entah disadari atau tidak, penggunaan empat mesin menjadi standar wajib untuk pesawat-pesawat komersial jarak menengah dan jauh. Sementara dua dan tiga mesin seperti B727, DC-9, dan Tupolev Tu-134 menjadi standar untuk pesawat yang melayani rute jarak dekat dan menengah.

Dari 4 ke 2 (dan 3)
Kejutan datang pada tahun 1970-an dengan lahirnya pesawat badan lebar (wide body) Airbus A300 buatan Konsorsium Eropa, mengandalkan dua mesin (twinjet) untuk menempuh jarak menengah dan jauh.
Inovasi berani ini mendapat tantangan keras karena dianggap mengabaikan
sisi keamanan terbang apalagi saat itu Airbus merupakan pendatang baru dalam bisnis produksi pesawat badan lebar.

Ada tiga alasan kuat mengapa Airbus memutuskan penggunaan dua mesin :

  1. semakin tingginya kehandalan (reliability) operasi mesin.
  2. semakin besarnya gaya dorong (engine thrust)
  3. semakin kecilnya sfc (specific fuel consumption)
Untuk dua poin terakhir, perkembangan high by pass ratio mesin turbofan yang tinggi (5-6) jika dibandingkan low by pass ratio pendahulunya (sekitar 1-2) akan meningkatkan gaya dorong yang efisien dengan angka sfc yang kecil alias semakin hemat bahan bakar. Sementara poin pertama pendekatannya berdasarkan kemungkinan (probabilitas) terjadinya kegagalan kerja mesin (engine failure).
Angka probabilitas yang berdasarkan perbandingan pengalaman operasi awal tahun 1960 s/d akhir 1970-an menunjukan tingkat kehandalan mesin yang nyata. Pihak perancang dan operator lantas meminta ijin kepada otoritas kelaikan untuk dapat merealisasikan penggunaan dua mesin untuk penerbangan jarak jauh baik diatas daratan dan lautan.
Peraturan yang berlaku untuk pesawat dua mesin mengacu pada FAR 12.161 yang intinya membatasi penerbangan pesawat dua mesin hanya dalam daerah sejauh 60 menit terbang dari airport yang ada. Peraturan yang telah dipakai sejak tahun 1953 ini berdasarkan pada sering gagalnya (failure rate) dari mesin piston yang saat itu masih dipakai seperti Lockheed Constellation, DC-6, dan Boeing Stratocruiser. Padahal teknologi telah jauh berubah, mesin turbofan telah memiliki failure rate yang hanya 1/10-nya dari mesin piston.
Otoritas memberikan lampu hijau untuk penerbangan pesawat dua mesin dan mulai pertengahan tahun 1980-an, dimulai tren pengoperasian diatas samudra dengan adanya tonggak sejarah yaitu ETOPS (Extended Twin Engine Operation). Konsep dua mesin, Airbus A300 dan A310 menjadi pesawat revolusioner yang diikuti kemudian oleh Boeing varian B757 dan B767.
Pabrik pesawat badan lebar yang lain, Lockheed yang menghasilkan L-1011 Tristar dan Douglas dengan DC-10 yang kemudian dikembangkan oleh McDonnell Douglas MD-11 bersikap konservatif dan lebih memilih penggunaan tiga mesin (trijet), dua disayap dan satu diekor. Ternyata kebijakaan hati-hati ini harus dibayar sangat mahal, kalah bersaing dengan para pesaingnya dan tersingkir dari bisnis pembuatan pesawat komersial.
Mesin ketiga yang terpasang pada ekor bagian atas lebih rumit dengan biaya perawatan jauh lebih mahal. Operator juga berpikir buat apa menggunakan pesawat dengan tiga mesin kalau dengan pesawat dua mesin dapat beroperasi dengan kemampuan angkut sama baiknya tapi dengan penggunaan bahan bakar yang lebih sedikit.

Dari 2 ke 1
Analog dengan apa yang terjadi pada kelas komuter terjadi penurunan kuantitas mesin. Konsep dua mesin yang bisa diterapkan pada pesawat seperti deHavilland Twin Otter dan NC212 dgantikan oleh satu mesin turboprop berdaya lebih besar seperti pada Cessna Caravan, Pilatus PC-12, dan TBM 700 yang berkapasitas 9-12 penumpang.
Sementara untuk pesawat korporat/eksekutif dengan kapasitas 4-7 penumpang mulai diperkenalkan konsep satu mesin jet tahun-tahun belakangan ini. Piper Jet, Diamond D-Jet dan Cirrus SF50 mulai menggoyang pangsa pasar Very Light Jet/VLJ yang masih setia memakai dua mesin.
Lagi-lagi konsep satu mesin ini merupakan kehandalan mesin. Sebagai contoh mesin turboprop Pratt & Whitney PT-6 (dengan variasinya) yang telah luas dan lama dipakai memiliki shutdown rate yaitu 1 dari 250,000-280,000 jam terbang.
Sementara mesin baru, mini turbofans Williams FJ33 masih memerlukan waktu untuk pembuktian lebih lanjut mengenai kehandalannya. Tidak heran sebagai tambahan keamanan, VLJ buatan Cirrus memiliki parasut yang bisa dipakai jika terjadi kegagalan kerja mesin.
Kendala justru datang dari pihak otoritas bahkan di negara maju sekalipun untuk mengangkut penumpang secara rutin/regular passenger transport (RPT). Sekalipun demikian ijin diberikan dalam batas-batas tertentu berdasarkan kondisi geografis.
Sebagai contoh Australia dengan penerbangan diatas wilayah tanah datar yang luas. Sementara Indonesia yang didominasi laut, hanya diperbolehkan terbang di atas wilayah pulau besar seperti Kalimantan atau Papua. Masih butuh waktu untuk meyakinkan otoritas untuk penggunaan pesawat komuter bermesin satu dan penerbangan korporat atau air taxi untuk lintas laut antar pulau.
Lebih Sedikit Lebih Baik
Teknologi memang mengubah segalanya. Pada waktu lampau, kiat perancang mengenai keamanan pesawat terbang : semakin banyak mesin maka semakin aman karena kalau ada kegagalan kerja mesin maka masih ada mesin yang lain untuk dapat selamat mendarat ke airport alternatif.
Kiat ini kemudian latah diikuti penumpang. Tidak heran saat itu ada lelucon yang sangat populer, “mengapa penumpang lebih memilih pesawat bermesin empat daripada yang bermesin dua ? Itu karena tidak ada pesawat bermesinlima….”
Tapi kehadiran pesawat badan lebar dua mesin kian menggeser pesawat bermesin empat dan tiga, apalagi dengan hadirnya Boeing B777 dan Airbus A330 bermesin turbofan dengan high bypass ratio diatas 7 pada awal 1990-an. Konsep ETOPS yang dianggap aneh dan membahayakan keamanan terbang pada awal kemunculannya, saat ini sudah lazim dan meningkat dari 120 menit menjadi 180 menit.
Konsep empat mesin memang masih dipakai tapi digeser untuk aplikasi pesawat komersial kelas Jumbo dan Super Jumbo. Situasi yang sama dilakukan produsen pesawat komuter dan eksekutif dengan penerapan aplikasi konsep satu mesin yang dulunya mengandalkan dua mesin.
Ditengah situasi harga bahan bakar yang semakin mahal dan semakin majunya teknologi mesin dari tahun ke tahun menjadikan kiat perancang pada saat ini berubah : semakin sedikit jumlah mesin maka pesawat akan semakin baik, handal, dan ekonomis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar